INI bukan dongeng. Ini adalah kisah nyata tentang sosok manusia unggul
bernama Muhammad Yunus, diangkat Stephen R Covey (2004) dalam buku
terbarunya, The 8th Habit: From Effectiveness to Greateness, sekadar
untuk memberi gambaran sekaligus peta jalan kepada siapa saja, apalagi
para pemimpin dan bahkan organisasi dalam mengatasi berbagai
turbulensi yang dihadapinya.
Begini cerita singkatnya. Dengan berbekal pengetahuan yang
dimilikinya, Yunus mengajar mata kuliah ekonomi di salah satu
universitas di Bangladesh yang pada waktu itu, sekira 25 tahun yang
lalu, sedang dilanda bencana kelaparan. Suatu saat setelah ia memberi
kuliah dengan teorinya yang muluk-muluk dan dengan semangatnya yang
menggebu sebagai seorang doktor yang baru lulus dari Amerika Serikat,
ia keluar dari ruang kelas dan langsung melihat banyak kerangka hidup
berkeliaran di sekelilingnya yang tidak lain adalah orang-orang yang
sedang sekarat tinggal menunggu ajalnya.
Itulah kondisi riil yang membuat jiwa Yunus terpangil. Yunus merasakan
bahwa apa pun teori yang ia pelajari, apa pun materi kuliah yang ia
berikan di kelas, waktu itu diangapnya hanya sebagai sebuah khayalan
karena tak memiliki arti bagi kehidupan orang-orang yang sedang
menderita kelaparan. Di situlah Yunus pertama kali menemukan "suara
jiwa"-nya yang kemudian menjadikan dirinya sebagai manusia sekaligus
pemimpin unggul, hebat, besar - great.
Melalui panggilan spiritualitasnya itu, akhirnya Yunus mulai belajar
untuk mengetahui kehidupan orang-orang kampung yang tinggal di sekitar
kampusnya. Tidak sampai di situ, ia pun punya maksud ingin mengetahui
apakah ada sesuatu yang bisa ia lakukan untuk menyelamatkan sesama
dari kematian, walaupun hanya untuk satu orang. Dan pada saat itulah,
dengan uang yang dimilikinya, untuk pertama kalinya Yunus memberikan
bantuan modal kepada seorang ibu pembuat dingklik bambu, dan ternyata
berhasil. "Nurani saya gemuruh", demikian ungkapan Yunus ketika
mengetahui bahwa lebih banyak lagi penduduk miskin yang untuk
memperoleh modal dua puluh sen pun tidak mampu.
Karena semakin lama semakin banyak yang meminta uluran tangannya,
akhirnya Yunus berupaya untuk bisa meminjam uang dari bank yang ada di
kampusnya. Yang pertama ia lakukan adalah, bagaimana meyakinkan pihak
bank bahwa orang miskin di desanya mampu mengembalikan uang
pinjamannya, sebuah upaya yang saat itu dianggap mustahil karena
berseberangan dengan kelaziman bank yang tabu memberikan bantuan
pinjaman kepada rakyat miskin.
Namun dengan modal kepercayaan yang dimilikinya, dengan kreativitas
dan ketangguhan yang dimilikinya, Yunus akhirnya berhasil meyakinkan
pihak bank. Lebih jauh lagi, bahwa apa saja yang dijanjikan Yunus
kepada pihak bank ternyata juga bisa dibuktikan karena semua pengusaha
kecil yang diberi pinjaman ternyata sanggup mengembalikan uang yang
dipinjamnya.
Dari situlah semakin banyak pengusaha kecil yang meminta bantuan
Yunus. Tidak saja dari satu atau dua desa, tetapi berkembang menjadi
ratusan desa. Kondisi itulah pula yang kemudian mengilhami berdirinya
Grameen Bank yang ia dirikan pada tanggal 2 Oktober tahun 1983, sebuah
bank resmi yang saat ini konon telah beroperasi di 46.000 desa yang
ada di Bangladesh, memiliki 1.267 cabang, dan mampu mempekerjakan
tidak kurang dari 12.000 personel. Karena keberhasilannya itu pula,
Grameen Bank ini konon sudah mampu meminjamkan lebih dari 4,5 miliar
dolar Amerika Serikat. Tidak saja bagi pemberdayaan kaum ibu miskin,
tetapi juga pemberdayaan kaum pengemis.
Menarik pelajaran
Bagi Covey, Muhammad Yunus merupakan teladan dari sosok manusia dengan
pribadi unggul karena telah mampu menemukan "suara (jiwa)"nya (voice)
- sering juga disebut "panggilan jiwa", "panggilan hidup" atau "suara
kemerdekaan" - yang tak lain adalah makna personal yang unik yakni
kebermaknaan yang tersingkap ketika seseorang menghadapi
tantangan-tantangan besar, dan yang membuat seseorang sama besarnya
dengan tantangan itu. Dalam konteks itu, Yunus berhasil menemukan
suara jiwanya yang kemudian melahirkan visinya mengenai dunia tanpa
kemiskinan.
Karena berhasil menangkap suara jiwanya yang merupakan anugerah Tuhan
sekaligus merupakan potensi tertinggi manusia itu, Yunus mampu
merasakan kebutuhan (need) orang-orang yang ada di sekitarnya, dan
mampu menanggapi bisikan nuraninya (conscience) untuk berbuat yang
terbaik dengan memanfaatkan bakat (talent) dan gairah hidupnya
(passion) untuk menjawab banyak kebutuhan orang-orang tadi.
Itulah karakteristik utama dari manusia dengan "pribadi unggul".
Mereka tidak saja mampu membangun perilaku efektif melalui 7 aplikasi
tujuh kebiasaannya (bersikap proaktif, memulai dengan akhir dalam
pikiran, mendahulukan yang utama, berpikir menang, berusaha mengerti
terlebih dahulu (pathos) sebelum dimengerti (logos), mewujudkan
sinergi dan kebiasaan pembaruan diri) seperti telah diungkap dalam
buku sebelumnya - The 7 Habits of Highly Effective People (1989),
melainkan melampauinya dengan cara menunjukkan potensi kehebatan yang
dimilikinya - greatness.
Itulah inti dari habit ke 8. Dalam bahasa Covey, temuilah suaramu,
lalu ilhamilah orang lain untuk menemukan suaranya. Itulah suara jiwa.
Itulah pula yang tercermin dalam pribadi manusia bernama Muhammad
Yunus dan kebanyakan manusia besar lainnya.
Empat peran
Memang tidak mudah untuk bisa menjadi manusia dengan pribadi unggul.
Namun tidak mudah tidak berarti mustahil untuk diwujudkan. Covey
mengungkap bahwa untuk bisa menjadi manusia unggul, ada empat peran
yang mesti dilakukan seseorang. Keempat peran ini sangat berkait
dengan upaya dalam rangka mengilhami orang lain agar bisa menemukan
suaranya, menemukan panggilan hidup atau visinya, dan karenanya
berkait dengan peran kepemimpinan.
Pertama, adalah peran menjadi panutan, keteladanan atau uswah- hasanah
(modeling). Peran ini sangat meniscayakan arti pentingnya setiap orang
untuk terlebih dahulu bisa menemukan dulu suara atau panggilan
jiwanya, dan kemudian memilih sikap untuk berinisiatif. Covey menyebut
peran pertama dan utama ini sebagai "kemudi kecil" (trim-tab) yang
mampu menggerakan kemudi besar. Peran ini menjadi sangat penting dalam
rangka membangun kepercayaan rakyat yang dipimpinnya.
Kedua, adalah peran untuk menjadi perintis jalan (pathfinding) dengan
cara mengarahkan hidup dengan visi. Perwujudan peran ini mesti dimulai
dengan diri sendiri, dan baru kemudian mengilhami orang lain untuk
melakukan hal yang sama. Itu sebabnya, peran perintisan ini akan mampu
menciptakan visi dan nilai-nilai bersama sebagai arah yang akan
menunjukaan jalan ke mana para pemimpin dan pengikutnya bergerak,
persis seperti yang dilakukan Muhammad Yunus ketika ia akan mendirikan
Grameen Bank.
Ketiga, adalah peran penyelaras (aligning). Intinya, bagaimana dengan
nilai disiplin yang tinggi seseorang atau pemimpin bisa membangun
sekaligus memelihara sebuah sistem, proses atau mekanisme agar tetap
mengarah kepada tujuan organisasi yang telah ditentukan. Keempat,
adalah peran pemberdayaan (empowering). Intinya, bagaimana membantu
orang lain agar bisa menggali dan mengembangkan potensi dirinya,
persis seperti yang juga berhasil dilakukan Yunus dalam memberdayakan
para pengusaha kecil di negerinya. Kepemimpinan sendiri, tegas Covey,
adalah seni untuk memberdayakan.
Itulah empat peran pokok yang mesti dilakukan oleh seorang pemimpin.
Covey menggarisbawahi bahwa keempat peran itu mesti dilakukan secara
berurutan dalam rangkaian kegiatan atau tindakan yang satu sama lain
saling berkaitan. Peran menjadi teladan yang merupakan peran sentral,
misalnya, pada dasarnya harus dilakukan sambil melakukan ketiga peran
yang lainnya. Jelasnya, menjadi (pemimpin) teladan akan terjadi
manakala orang lain bisa melihat secara langsung teladan yang
diberikan oleh seorang pemimpin sebagai perintis, penyelaras dan
pemberdaya.
Itulah pula sosok pemimpin besar, hebat atau unggul yang dibutuhkan
untuk mengelola negeri ini, pada saat ini, yakni pemimpin yang mampu
membangunkan gairah atau semangat hidup rakyat yang dipimpinnya karena
mereka tidak saja mampu berperilaku efektif, tetapi juga mampu
menemukan suara jiwanya dan bisa mengilhami semua rakyat yang
dipimpinnya dalam menemukan suara jiwa mereka untuk kemudian
bersama-sama bergerak keluar dari berbagai keterbelakangan menuju
sebuah bangsa yang dicita-citakan, bangsa yang unggul. Wallahu a'lam
bis-shawab.***
Rabu, 02 Juni 2010
CERITA MENJADI PRIBADI UNGGUL
Langganan:
Postingan (Atom)