Cari Blog Ini

Rabu, 02 Juni 2010

CERITA MENJADI PRIBADI UNGGUL

INI bukan dongeng. Ini adalah kisah nyata tentang sosok manusia unggul

bernama Muhammad Yunus, diangkat Stephen R Covey (2004) dalam buku

terbarunya, The 8th Habit: From Effectiveness to Greateness, sekadar

untuk memberi gambaran sekaligus peta jalan kepada siapa saja, apalagi

para pemimpin dan bahkan organisasi dalam mengatasi berbagai

turbulensi yang dihadapinya.



Begini cerita singkatnya. Dengan berbekal pengetahuan yang

dimilikinya, Yunus mengajar mata kuliah ekonomi di salah satu

universitas di Bangladesh yang pada waktu itu, sekira 25 tahun yang

lalu, sedang dilanda bencana kelaparan. Suatu saat setelah ia memberi

kuliah dengan teorinya yang muluk-muluk dan dengan semangatnya yang

menggebu sebagai seorang doktor yang baru lulus dari Amerika Serikat,

ia keluar dari ruang kelas dan langsung melihat banyak kerangka hidup

berkeliaran di sekelilingnya yang tidak lain adalah orang-orang yang

sedang sekarat tinggal menunggu ajalnya.



Itulah kondisi riil yang membuat jiwa Yunus terpangil. Yunus merasakan

bahwa apa pun teori yang ia pelajari, apa pun materi kuliah yang ia

berikan di kelas, waktu itu diangapnya hanya sebagai sebuah khayalan

karena tak memiliki arti bagi kehidupan orang-orang yang sedang

menderita kelaparan. Di situlah Yunus pertama kali menemukan "suara

jiwa"-nya yang kemudian menjadikan dirinya sebagai manusia sekaligus

pemimpin unggul, hebat, besar - great.



Melalui panggilan spiritualitasnya itu, akhirnya Yunus mulai belajar

untuk mengetahui kehidupan orang-orang kampung yang tinggal di sekitar

kampusnya. Tidak sampai di situ, ia pun punya maksud ingin mengetahui

apakah ada sesuatu yang bisa ia lakukan untuk menyelamatkan sesama

dari kematian, walaupun hanya untuk satu orang. Dan pada saat itulah,

dengan uang yang dimilikinya, untuk pertama kalinya Yunus memberikan

bantuan modal kepada seorang ibu pembuat dingklik bambu, dan ternyata

berhasil. "Nurani saya gemuruh", demikian ungkapan Yunus ketika

mengetahui bahwa lebih banyak lagi penduduk miskin yang untuk

memperoleh modal dua puluh sen pun tidak mampu.



Karena semakin lama semakin banyak yang meminta uluran tangannya,

akhirnya Yunus berupaya untuk bisa meminjam uang dari bank yang ada di

kampusnya. Yang pertama ia lakukan adalah, bagaimana meyakinkan pihak

bank bahwa orang miskin di desanya mampu mengembalikan uang

pinjamannya, sebuah upaya yang saat itu dianggap mustahil karena

berseberangan dengan kelaziman bank yang tabu memberikan bantuan

pinjaman kepada rakyat miskin.



Namun dengan modal kepercayaan yang dimilikinya, dengan kreativitas

dan ketangguhan yang dimilikinya, Yunus akhirnya berhasil meyakinkan

pihak bank. Lebih jauh lagi, bahwa apa saja yang dijanjikan Yunus

kepada pihak bank ternyata juga bisa dibuktikan karena semua pengusaha

kecil yang diberi pinjaman ternyata sanggup mengembalikan uang yang

dipinjamnya.



Dari situlah semakin banyak pengusaha kecil yang meminta bantuan

Yunus. Tidak saja dari satu atau dua desa, tetapi berkembang menjadi

ratusan desa. Kondisi itulah pula yang kemudian mengilhami berdirinya

Grameen Bank yang ia dirikan pada tanggal 2 Oktober tahun 1983, sebuah

bank resmi yang saat ini konon telah beroperasi di 46.000 desa yang

ada di Bangladesh, memiliki 1.267 cabang, dan mampu mempekerjakan

tidak kurang dari 12.000 personel. Karena keberhasilannya itu pula,

Grameen Bank ini konon sudah mampu meminjamkan lebih dari 4,5 miliar

dolar Amerika Serikat. Tidak saja bagi pemberdayaan kaum ibu miskin,

tetapi juga pemberdayaan kaum pengemis.



Menarik pelajaran



Bagi Covey, Muhammad Yunus merupakan teladan dari sosok manusia dengan

pribadi unggul karena telah mampu menemukan "suara (jiwa)"nya (voice)

- sering juga disebut "panggilan jiwa", "panggilan hidup" atau "suara

kemerdekaan" - yang tak lain adalah makna personal yang unik yakni

kebermaknaan yang tersingkap ketika seseorang menghadapi

tantangan-tantangan besar, dan yang membuat seseorang sama besarnya

dengan tantangan itu. Dalam konteks itu, Yunus berhasil menemukan

suara jiwanya yang kemudian melahirkan visinya mengenai dunia tanpa

kemiskinan.



Karena berhasil menangkap suara jiwanya yang merupakan anugerah Tuhan

sekaligus merupakan potensi tertinggi manusia itu, Yunus mampu

merasakan kebutuhan (need) orang-orang yang ada di sekitarnya, dan

mampu menanggapi bisikan nuraninya (conscience) untuk berbuat yang

terbaik dengan memanfaatkan bakat (talent) dan gairah hidupnya

(passion) untuk menjawab banyak kebutuhan orang-orang tadi.



Itulah karakteristik utama dari manusia dengan "pribadi unggul".

Mereka tidak saja mampu membangun perilaku efektif melalui 7 aplikasi

tujuh kebiasaannya (bersikap proaktif, memulai dengan akhir dalam

pikiran, mendahulukan yang utama, berpikir menang, berusaha mengerti

terlebih dahulu (pathos) sebelum dimengerti (logos), mewujudkan

sinergi dan kebiasaan pembaruan diri) seperti telah diungkap dalam

buku sebelumnya - The 7 Habits of Highly Effective People (1989),

melainkan melampauinya dengan cara menunjukkan potensi kehebatan yang

dimilikinya - greatness.



Itulah inti dari habit ke 8. Dalam bahasa Covey, temuilah suaramu,

lalu ilhamilah orang lain untuk menemukan suaranya. Itulah suara jiwa.

Itulah pula yang tercermin dalam pribadi manusia bernama Muhammad

Yunus dan kebanyakan manusia besar lainnya.



Empat peran



Memang tidak mudah untuk bisa menjadi manusia dengan pribadi unggul.

Namun tidak mudah tidak berarti mustahil untuk diwujudkan. Covey

mengungkap bahwa untuk bisa menjadi manusia unggul, ada empat peran

yang mesti dilakukan seseorang. Keempat peran ini sangat berkait

dengan upaya dalam rangka mengilhami orang lain agar bisa menemukan

suaranya, menemukan panggilan hidup atau visinya, dan karenanya

berkait dengan peran kepemimpinan.



Pertama, adalah peran menjadi panutan, keteladanan atau uswah- hasanah

(modeling). Peran ini sangat meniscayakan arti pentingnya setiap orang

untuk terlebih dahulu bisa menemukan dulu suara atau panggilan

jiwanya, dan kemudian memilih sikap untuk berinisiatif. Covey menyebut

peran pertama dan utama ini sebagai "kemudi kecil" (trim-tab) yang

mampu menggerakan kemudi besar. Peran ini menjadi sangat penting dalam

rangka membangun kepercayaan rakyat yang dipimpinnya.



Kedua, adalah peran untuk menjadi perintis jalan (pathfinding) dengan

cara mengarahkan hidup dengan visi. Perwujudan peran ini mesti dimulai

dengan diri sendiri, dan baru kemudian mengilhami orang lain untuk

melakukan hal yang sama. Itu sebabnya, peran perintisan ini akan mampu

menciptakan visi dan nilai-nilai bersama sebagai arah yang akan

menunjukaan jalan ke mana para pemimpin dan pengikutnya bergerak,

persis seperti yang dilakukan Muhammad Yunus ketika ia akan mendirikan

Grameen Bank.



Ketiga, adalah peran penyelaras (aligning). Intinya, bagaimana dengan

nilai disiplin yang tinggi seseorang atau pemimpin bisa membangun

sekaligus memelihara sebuah sistem, proses atau mekanisme agar tetap

mengarah kepada tujuan organisasi yang telah ditentukan. Keempat,

adalah peran pemberdayaan (empowering). Intinya, bagaimana membantu

orang lain agar bisa menggali dan mengembangkan potensi dirinya,

persis seperti yang juga berhasil dilakukan Yunus dalam memberdayakan

para pengusaha kecil di negerinya. Kepemimpinan sendiri, tegas Covey,

adalah seni untuk memberdayakan.



Itulah empat peran pokok yang mesti dilakukan oleh seorang pemimpin.

Covey menggarisbawahi bahwa keempat peran itu mesti dilakukan secara

berurutan dalam rangkaian kegiatan atau tindakan yang satu sama lain

saling berkaitan. Peran menjadi teladan yang merupakan peran sentral,

misalnya, pada dasarnya harus dilakukan sambil melakukan ketiga peran

yang lainnya. Jelasnya, menjadi (pemimpin) teladan akan terjadi

manakala orang lain bisa melihat secara langsung teladan yang

diberikan oleh seorang pemimpin sebagai perintis, penyelaras dan

pemberdaya.



Itulah pula sosok pemimpin besar, hebat atau unggul yang dibutuhkan

untuk mengelola negeri ini, pada saat ini, yakni pemimpin yang mampu

membangunkan gairah atau semangat hidup rakyat yang dipimpinnya karena

mereka tidak saja mampu berperilaku efektif, tetapi juga mampu

menemukan suara jiwanya dan bisa mengilhami semua rakyat yang

dipimpinnya dalam menemukan suara jiwa mereka untuk kemudian

bersama-sama bergerak keluar dari berbagai keterbelakangan menuju

sebuah bangsa yang dicita-citakan, bangsa yang unggul. Wallahu a'lam

bis-shawab.***